Breaking News
Loading...
Wednesday, January 15, 2014

Info Post


SUDAH lebih dari empat bulan warga Tanah Karo, Sumatra Utara, diimpit penderitaan akibat amuk Gunung Sinabung. Namun, selama itu pula mereka seperti sendirian merasakan nestapa tanpa sentuhan empati dari para pemimpin negeri.

Sejak meletus pada awal September 2013, Sinabung telah memaksa ribuan warga meninggalkan rumah menuju pengungsian. Sawah dan kebun yang selama ini menjadi sandaran hidup, mereka tinggalkan.

Arus pengungsi bukannya surut, melainkan kian hari kian bertambah karena Gunung Sinabung tidak henti meluapkan erupsi. Kini tak kurang dari 7.925 kepala keluarga atau 25.605 jiwa harus menjalani hidup di tempat-tempat penampungan. Perkampungan di sekitar Sinabung ibarat kota mati yang ditinggal penghuninya.

Semakin banyak pengungsi semakin sulit pula kehidupan mereka di pengungsian. Tempat-tempat penampungan semakin tak nyaman untuk sekadar merebahkan badan. Di Jambur Berastagi, misalnya, satu tikar di posko pengungsian rata-rata ditempati tujuh kepala keluarga. Bahkan, satu ruang kelas bekas Universitas Karo diisi 60 sampai 130 KK.

Pengungsian bak tempat penantian menjemput ajal. Serangan berbagai jenis penyakit plus stres berkepanjangan telah merenggut nyawa 14 pengungsi. Informasi terbaru bahkan menyebutkan 19 orang meninggal.

Kita prihatin, amat prihatin, menyaksikan kisah pilu yang dilakoni masyarakat Karo. Namun, kita lebih prihatin, lebih sedih, karena di tengah nestapa yang terus mendera, para pemimpin negara tetap saja minim kepedulian. Benar bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana terus membantu para pengungsi. Akan tetapi, semua upaya itu masih jauh dari cukup.

Yang terjadi justru berbanding terbalik. Bupati Tanah Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti jarang meninjau langsung posko-posko pengungsian. Ia masih lebih suka bekerja di belakang meja sembari menunggu laporan dari lapangan.

Begitu juga pemerintah pusat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum pernah datang menengok rakyatnya yang menggantungkan hidup di tempat pengungsian. Ia baru berencana bertandang ke Tanah Karo, minggu depan. Berbeda ketika ia cepat bereaksi dengan memutuskan berkantor selama beberapa hari di Yogyakarta kala Gunung Merapi meletus pada 2006 dan 2010.

Adakah itu sebuah perbedaan perlakuan terhadap bencana di Jawa dan luar Jawa? Rakyat Tanah Karo korban bencana Sinabung ialah bagian dari keluarga besar Indonesia yang tak semestinya diperlakukan berbeda. Ketika mereka menderita, sewajibnya negara mencurahkan perhatian dan kepedulian yang sama dengan anak bangsa lainnya. Tidak sepatutnya negara menebarkan pilih kasih yang bisa memantik kecemburuan. Tidak sepantasnya negara menyemai bibit keluhan daerah yang merasa dianaktirikan Presiden.

Tidak ada satu pun manusia di kolong langit yang kuasa mencegah Sinabung meletus. Namun, jika punya kemauan, Presiden bisa meringankan rakyatnya dengan curahan perhatian dan kepedulian. Jangn lupakan bencana Sinabung, Bung!


0 comments:

Post a Comment