SUDAH
lebih dari empat bulan warga Tanah Karo, Sumatra Utara, diimpit
penderitaan akibat amuk Gunung Sinabung. Namun, selama itu pula mereka
seperti sendirian merasakan nestapa tanpa sentuhan empati dari para
pemimpin negeri.
Sejak meletus pada awal
September 2013, Sinabung telah memaksa ribuan warga meninggalkan rumah
menuju pengungsian. Sawah dan kebun yang selama ini menjadi sandaran
hidup, mereka tinggalkan.
Arus pengungsi bukannya surut,
melainkan kian hari kian bertambah karena Gunung Sinabung tidak henti
meluapkan erupsi. Kini tak kurang dari 7.925 kepala keluarga atau 25.605
jiwa harus menjalani hidup di tempat-tempat penampungan. Perkampungan
di sekitar Sinabung ibarat kota mati yang ditinggal penghuninya.
Semakin banyak pengungsi semakin
sulit pula kehidupan mereka di pengungsian. Tempat-tempat penampungan
semakin tak nyaman untuk sekadar merebahkan badan. Di Jambur Berastagi,
misalnya, satu tikar di posko pengungsian rata-rata ditempati tujuh
kepala keluarga. Bahkan, satu ruang kelas bekas Universitas Karo diisi
60 sampai 130 KK.
Pengungsian bak tempat penantian
menjemput ajal. Serangan berbagai jenis penyakit plus stres
berkepanjangan telah merenggut nyawa 14 pengungsi. Informasi terbaru
bahkan menyebutkan 19 orang meninggal.
Kita prihatin, amat prihatin,
menyaksikan kisah pilu yang dilakoni masyarakat Karo. Namun, kita lebih
prihatin, lebih sedih, karena di tengah nestapa yang terus mendera, para
pemimpin negara tetap saja minim kepedulian. Benar bahwa Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terus membantu para pengungsi. Akan tetapi,
semua upaya itu masih jauh dari cukup.
Yang terjadi justru berbanding
terbalik. Bupati Tanah Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti jarang
meninjau langsung posko-posko pengungsian. Ia masih lebih suka bekerja
di belakang meja sembari menunggu laporan dari lapangan.
Begitu juga pemerintah pusat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum pernah datang menengok rakyatnya
yang menggantungkan hidup di tempat pengungsian. Ia baru berencana
bertandang ke Tanah Karo, minggu depan. Berbeda ketika ia cepat bereaksi
dengan memutuskan berkantor selama beberapa hari di Yogyakarta kala
Gunung Merapi meletus pada 2006 dan 2010.
Adakah itu sebuah perbedaan
perlakuan terhadap bencana di Jawa dan luar Jawa? Rakyat Tanah Karo
korban bencana Sinabung ialah bagian dari keluarga besar Indonesia yang
tak semestinya diperlakukan berbeda. Ketika mereka menderita, sewajibnya
negara mencurahkan perhatian dan kepedulian yang sama dengan anak
bangsa lainnya. Tidak sepatutnya negara menebarkan pilih kasih yang bisa
memantik kecemburuan. Tidak sepantasnya negara menyemai bibit keluhan
daerah yang merasa dianaktirikan Presiden.
Tidak ada satu pun manusia di kolong langit yang kuasa mencegah Sinabung meletus. Namun, jika punya kemauan, Presiden bisa meringankan rakyatnya dengan curahan perhatian dan kepedulian. Jangn lupakan bencana Sinabung, Bung!
0 comments:
Post a Comment